Rabu, 13 Juni 2018

BERSERAH DIRI. Apa sih? Terkesan pasif, lemah dan suram. Kenapa 'Islam', aslama, artinya 'berserah diri'?

Itu dia. Biasanya umat Islam sendiri gamang dalam mengartikan keberserahdirian. Kalau memaknai keberserahdirian dengan 'pasrah bongkokan', diam, fatalis dan menunggu nasib, secara umum ya salah.

Berserah diri itu tergantung berserah diri pada siapa. Berserah diri pada nasib, tentu jadinya diam seperti batu. Berserah diri kepada kehendak Allah, tentu implikasinya kita harus mencari tahu dulu kehendak Allah untuk kita itu apa. Dan 'mencari tahu kehendak-Nya' ini luar biasa melelahkannya, luar biasa sulitnya. Mencari tahu apa kehendak Allah bagi diri kita saat ini, itulah esensi jihad sebenarnya.

Misal, kita sampai di sebuah pasar. Kalau pasrah bongkokan, kita akan diam saja liat kiri kanan, menunggu 'dikasih Allah ta'ala'.

Kalau berserah diri yang benar, kita akan mencermati: dari semua benda yang ada di pasar, apa yang paling Allah kehendaki untuk kita miliki saat itu.

Cek misalnya apa kebutuhan kita saat itu, yang paling dibutuhkan adalah benda apa. Lalu menghitung uang kita, kemudian membandingkan: benda apa yang bisa dibeli dengan uang sekian. Dari sekian alternatif benda yang bisa dibeli, lalu dipilih yang terbaik kualitasnya, yang paling kita sukai. Kalau tidak suka, ya cari yang lain. Kalau ternyata tidak punya uang, ya angkut-angkut barang dulu.

Terus begitu, sampai ketemu. Ini berserah diri yang benar.

Lha, kalo gitu, apa bedanya berserah diri yang kedua itu dengan yang biasa kita lakukan sehari-hari?

Bedanya adalah akadnya. Ada akad di sana. Kepada Allah ta'ala, "Aku terima urusan ini ya Allah, dengan seijin Engkau. Bimbinglah hamba dalam urusan ini agar semakin mendekat pada Engkau." Mengucap 'Bismillah' sebelum berbuat sesuatu, adalah bentuk paling sederhana dari akad semacam ini.

Pada dasarnya, setiap hari, setiap saat, kita menikah dengan berbagai urusan yang dihadirkan-Nya. Yang menjadikan kita halal menggaulinya adalah akad-nya. Tanpa akad, hubungan kita dengan urusan cuma sekedar one-night-stand. Kita cuma berzina dengan kesibukan. Ini malah akan semakin menjauhkan kita dari-Nya.

Nah. Pasar itu ibarat dunia kita sekarang. Kita ditaruh-Nya di dunia yang ini. Bukan kehendak kita, kan? Dunia ini penuh dengan amal, baik amal yang haram dan amal yang baik.

Kita bisa saja diam dan menunggu dikasih. Atau, kita bisa memilih alternatif kedua, Tugas kita adalah mencari amal mana yang paling Allah kehendaki untuk kita. Kita harus mencari lapak yang paling sesuai--dengan disertai akad.

Amal yang terbaik bagi kita, di mata Allah ta'ala, belum tentu tampil berdakwah di podium. Belum tentu shalat tahajud, kalau orang tua sedang sakit, misalnya. Cari, baca situasi. Bisa saja yang paling tepat ternyata menyetrika, atau mengganti popok anak. Tampak kecil, tapi jika kita bisa menghubungkan amal itu dengan kehendak Allah ta'ala--itu anugerah luar biasa.

Guru saya selalu bilang begini. Jika kita punya keinginan tertentu, periksa dengan kemampuan dan kesempatan. Jika kita ingin sesuatu, kemampuan ada, kesempatan ada, klop. Kemungkinan besar, Allah juga menghendaki itu untuk kita. Kalau Allah menghendaki kita berbuat sesuatu, pasti Dia juga sudah menyiapkan sarana dan requirements-nya.

Tapi kalau kita ingin sesuatu, tapi kemampuan nggak ada atau kesempatan nggak ada, itu keinginan hawa nafsu saja. Kemungkinan besar, Allah tidak menghendaki kita mengerjakan itu saat ini.

Semoga manfaat...

*Al-Fatihah untuk Rasulullah, kedua orangtuaku, mursyidku satu2nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.